1. Bangun, Mandi, Macet, Kerja, Lelah, Tidur, Ulangi
Setiap pagi, alarm berbunyi dengan semangat yang tidak saya miliki. Bunyi “tiiit-tiiit-tiiit” seolah berkata, “Ayo bangun, kamu harus jadi produktif demi perusahaan yang tak tahu kamu lembur tadi malam.”
Saya terbangun, setengah sadar, memandangi langit-langit kamar dengan pertanyaan eksistensial, “Kenapa hidup begini amat ya?” Tapi karena cicilan masih panjang dan saldo tabungan belum bisa membuat saya bertahan tanpa gaji, saya bangun juga.
Jam 6 pagi. Di jalan raya, saya bukan siapa-siapa. Hanya satu titik di lautan kendaraan yang masing-masing mengejar waktu dan menekan klakson seperti sedang balapan hidup. Macet bukan lagi musuh—dia sudah seperti teman yang selalu ada. Kadang saya berpikir, bisa jadi lebih banyak waktu saya habiskan di mobil daripada di rumah. Ironis.
Sampai kantor, saya berpura-pura sibuk bahkan sebelum benar-benar sibuk. Laptop dibuka, kopi sachet diseduh, dan kalender Outlook dibaca seperti kitab suci. Ada rapat jam 9, update KPI jam 11, dan laporan mingguan yang sebenarnya tidak pernah ada yang baca, tapi harus disetor dengan rapi. Karena di dunia korporat, penampilan dokumen lebih penting dari isinya.
Kerja. Duduk. Balas email. Satu jam terasa tiga. Mata lelah, pikiran lari ke mana-mana, tapi badan tetap duduk manis. Saya lihat rekan sebelah saya—dia membuka file Excel yang sama dari pagi. Apakah dia benar-benar kerja, atau hanya menatap angka sambil menahan tangis?
Jam makan siang, waktunya mengeluh bersama. Makan nasi padang sambil membahas politik kantor dan bos yang tidak tahu diri. Lalu, kembali ke meja masing-masing, membawa sisa frustrasi dalam kotak makanan yang belum dibuang.
Sore datang bukan pertanda pulang, tapi pengingat bahwa lembur sudah di depan mata. Dan ketika akhirnya pulang, dunia sudah gelap. Sampai rumah, badan lemas, kepala pusing, tapi tetap buka HP—takut ada chat dari atasan yang katanya “urgent” tapi ternyata cuma typo di presentasi.
Tidur. Tapi tidak benar-benar istirahat. Karena otak masih menghitung to-do list esok hari.
Lalu besok, ulang dari awal.
Hidup ini terasa seperti template. Seolah-olah saya sedang memainkan peran dalam drama yang ditulis oleh sistem. Dan lucunya, semua orang ikut main. Padahal tak ada yang betul-betul menikmati ceritanya.
“Kamu harus kerja keras, biar sukses.”
Tapi kapan terakhir kali kamu merasa benar-benar hidup?
Komentar
Posting Komentar