2. Seragam Tak Kasat Mata

Di dunia korporat, kita memang tidak lagi memakai rantai di kaki atau borgol di tangan. Tapi jangan salah. Seragam kita tetap ada. Bukan dalam bentuk kain, melainkan dalam bentuk sikap, pola pikir, dan ekspresi yang dikurasi agar terlihat “profesional”.

Pernahkah kamu sadar, betapa miripnya semua orang di kantor? Senyum yang sama, tawa yang sedikit ditahan, nada bicara yang penuh basa-basi. Bahkan cara duduk dan tertawa pun seolah diatur dalam buku panduan tak tertulis: “Menjadi Korporat yang Baik dan Bisa Diterima”.

Kita semua pakai seragam tak kasat mata itu. Kita semua tahu kalau jadi terlalu jujur bisa bikin karier mandek. Jadi kita belajar berkata "Noted, Pak" saat ingin berkata "Ini kerjaanmu, kenapa jadi tugas saya?"
Kita menulis email dengan kalimat:

“Mohon bantuannya ya, Pak/Bu 🙏🏻
Padahal sebenarnya maksudnya:
“Ini kerjaan Anda, tolong kerjakan dong, saya udah cukup pusing.”

Profesionalisme adalah topeng

Di kantor, kita belajar menyembunyikan rasa marah, lelah, bahkan kecewa. Kita tertawa bersama orang yang menjatuhkan kita minggu lalu, ikut makan siang dengan rekan yang menusuk dari belakang dengan sopan santun ala ISO 9001.

Mau tidak mau, kita belajar akting. Akting jadi "team player" walau hati menjerit. Akting semangat di Monday morning briefing, padahal tadi pagi nangis di kamar mandi karena burnout.

Bahasa Tubuh Budak Korporat:

  • Kopi kedua jam 10 pagi: tanda sudah ingin pulang.
  • Scroll LinkedIn saat jam kerja: bukan cari ilmu, tapi cari pelarian.
  • Mendadak aktif di Google Calendar: karena atasan lewat di belakang.
  • Tertawa keras saat meeting online: biar dikira engaged, padahal sambil buka Shopee.

Dan jangan lupakan senyum tipis penuh kode yang kita lempar ke sesama budak saat lewat di pantry. Sejenis senyum yang berkata: “Sama ya, kita di sini karena terpaksa.”

Pakaian Rapi, Jiwa Kusut

Dress code kantor kadang bikin kita terlihat berkelas di luar, tapi berantakan di dalam. Sepatu mengkilap, wajah full make-up, rambut disisir rapi—tapi hati penuh kekhawatiran soal project yang tak kunjung selesai dan gaji yang tak kunjung cukup.

Kadang, saya berpikir: apakah manusia memang diciptakan untuk hidup 40 jam seminggu di kubikel, mengenakan baju yang sama setiap Senin, dan mengucap “selamat pagi” ke orang yang bahkan tak tahu nama lengkap kita?


Kita berpura-pura bahagia, hanya agar terlihat kompeten.
Kita menekan rasa sakit, karena takut dianggap lemah.
Kita semua memakai seragam itu, walau tak pernah dipesan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

1. Bangun, Mandi, Macet, Kerja, Lelah, Tidur, Ulangi

9. Mitos Work-Life Balance