3. Atasan, Jabatan, dan Jebakan
Korporat seperti kerajaan kecil. Dan dalam kerajaan itu, struktur kekuasaan jelas: ada raja (CEO), ada menteri (direksi), ada kepala suku (manajer), dan sisanya... ya, kita: rakyat jelata yang kerja keras demi nama baik kerajaan.
Dan seperti kerajaan pada umumnya, yang di atas selalu minta loyalitas, tapi jarang turun tangan ketika rakyatnya kelaparan... atau setidaknya kelaparan ide, energi, dan waktu tidur.
Micromanaging: Cinta yang Mencekik
Pernah punya atasan yang terlalu peduli? Bukan peduli secara manusiawi, tapi peduli sampai level tahu kamu ke toilet berapa menit.
Atasan yang merasa dirinya adalah sistem kontrol kualitas berjalan. Semua harus lewat dia, semua harus sesuai gayanya, dan semua harus dikerjakan "seperti yang saya bayangkan, tapi tidak pernah saya jelaskan dengan jelas."
Micromanaging adalah seni pengawasan yang dibungkus dengan kalimat-kalimat seperti:
• “Saya hanya ingin memastikan semuanya berjalan lancar.”
• “Coba revisi lagi ya, ini kurang vibe-nya.”
• “Kalau bisa jangan improvisasi, ya. Tapi harus kreatif juga.”
Kontradiktif? Ya. Tapi coba bantah, nanti dianggap tidak bisa kerja sama tim.
Jabatan: Nama Keren, Tugas Sama
Jabatan di dunia korporat itu seperti filter Instagram. Memberi ilusi perubahan, tapi sebenarnya hanya memperhalus kenyataan.
Dari “Admin” jadi “Executive Assistant”, dari “Marketing” jadi “Brand Evangelist”, dari “Customer Service” jadi “Client Happiness Hero”.
Tapi gaji? Tetap.
Tugas? Nambah.
Tanggung jawab? Meledak.
Dan anehnya, makin tinggi jabatan, makin sedikit hal teknis yang mereka lakukan. Kadang saya pikir: apakah naik jabatan berarti naik level menghindari pekerjaan sebenarnya?
Rapat: Ritual Suci yang Harus Dihadiri
Rapat di korporat kadang terasa seperti misa harian. Semua harus datang, semua harus “terlihat aktif”, walau isinya muter-muter di topik yang sama.
Rapat demi rapat, follow-up demi follow-up, hingga muncul frasa favorit:
“Kita adakan rapat kecil ya, untuk membahas hasil rapat tadi.”
Kita lebih sering rapat daripada kerja. Tapi seolah rapat adalah bentuk kerja paling valid. Padahal banyak yang ikut sambil buka e-commerce, atau sekadar mengangguk tanpa paham.
Politik Kantor: Lebih Licin dari Minyak Goreng
Ingin naik jabatan? Prestasi itu penting... tapi bukan segalanya.
Yang lebih penting:
• Siapa yang kamu dekati.
• Seberapa sering kamu bilang “Wah, ide Bapak keren sekali!”
• Seberapa kuat kamu terlihat loyal, meski sedang sekarat dalam diam.
Kadang, yang paling pandai kerja justru diam di posisi yang sama selama bertahun-tahun.
Sementara yang pandai berpolitik, naik pangkat meski Excel pun masih buka pakai Google.
________________________________________
Di kantor, naik jabatan bukan soal pantas. Tapi soal siapa yang paling lihai menari di tengah jebakan.
________________________________________
Sampai di titik ini, saya mulai bertanya: apakah semua ini bagian dari sistem? Apakah saya hanya pion dalam permainan yang bahkan tidak saya daftarkan sendiri?
Tapi saya tetap hadir, tetap kerja, tetap balas email pakai "baik, noted", dan tetap bertahan. Karena kalau tidak, siapa yang bayar listrik?
Komentar
Posting Komentar