4. Gaji Gagal Menyembuhkan Luka Batin
Gaji pertama selalu terasa manis. Saat notifikasi masuk—"transfer dari PT. Harapan Palsu Abadi", dunia serasa cerah. Rasanya ingin traktir teman, belanja barang yang selama ini cuma ada di wishlist, atau sekadar duduk di kafe mahal sambil pura-pura sibuk ngetik.
Tapi itu cuma sebentar.
Beberapa bulan kemudian, kenyataan menampar: gaji ternyata bukan penyembuh
luka batin.
Ia hanya penawar rasa sakit. Seperti painkiller—menghilangkan nyeri sesaat,
tapi tidak menyembuhkan akar masalah.
Gaji Besar, Waktu Habis
Katanya gaji besar = bahagia.
Tapi jarang ada yang bilang kalau semakin besar gaji, semakin kecil waktu
pribadi.
Gaji tinggi sering dibayar mahal dengan:
- Waktu
keluarga yang dikorbankan
- Kesehatan
yang diabaikan
- Tidur
yang cuma 4 jam
- HP
yang tak pernah mati, bahkan di hari Minggu
Semakin tinggi posisi, semakin sempit ruang untuk hidup.
Seolah kamu sedang menyewa tubuhmu ke perusahaan, lengkap dengan pikirannya.
“Kerja keras sekarang, nikmati hasilnya nanti.”
Tapi kapan tepatnya “nanti” itu datang?
Lembur: Pengorbanan yang Dianggap Loyalitas
Perusahaan jarang minta kamu lembur secara eksplisit. Tapi
budaya diam-diam menekan:
Rekan-rekan yang pulang larut dianggap berdedikasi. Yang pulang tepat waktu?
"Kurang komitmen."
Lembur jadi semacam ajang pembuktian: siapa yang paling
sanggup mengabaikan hidup pribadi demi target yang bahkan berubah minggu depan.
Yang menyakitkan, uang lembur tidak sebanding dengan
energi yang hilang.
Dan yang lebih menyakitkan: kadang lembur tidak dibayar, tapi diucapkan dengan
“terima kasih, ya”.
Terima kasih?
Saya butuh uang, bukan pujian.
Kredit dan Cicilan: Rantai Budak Modern
Satu hal yang menyambungkan budak korporat dengan sistem: cicilan.
Motor, mobil, rumah, HP, bahkan kasur bisa dicicil. Dan semua itu membuat kita
tetap diam di kantor, walau hati ingin pergi.
Cicilan adalah tali tak terlihat yang menarik kita kembali
ke kursi kerja setiap Senin. Bukan karena cinta pekerjaan, tapi karena
ketakutan akan tagihan.
Punya banyak barang, tapi tak sempat menikmatinya.
Punya rumah, tapi pulang hanya untuk tidur.
Punya mobil, tapi terjebak di jalan menuju kantor yang tak lagi kamu cintai.
Gaji Tak Bisa Beli Waras
Di titik tertentu, kamu mulai sadar:
Gaji yang besar tidak membuatmu lebih damai. Justru membuatmu makin
terperangkap.
Karena begitu gaji naik, gaya hidup pun ikut naik.
Makan siang jadi di tempat yang “harus posting dulu”, liburan harus ke luar
negeri, dan beli barang pun bukan karena perlu, tapi karena ingin validasi.
Semakin kamu lelah, semakin kamu konsumtif. Karena
satu-satunya cara merayakan sisa energi adalah: belanja untuk melupakan.
Gaji bisa bayar psikolog, tapi tak bisa menghapus trauma.
Gaji bisa beli kasur empuk, tapi tak bisa jamin tidur nyenyak.
Gaji bisa membuatmu bertahan, tapi belum tentu membuatmu hidup.
Kamu boleh cinta kerjaanmu. Tapi jangan percaya bahwa gaji
bisa menyembuhkan luka jiwa.
Karena sering kali, justru kantor adalah penyebab luka itu.
Komentar
Posting Komentar