6. Resign di Kepala, Tapi Bertahan di Dompet
Setiap minggu, pasti ada momen di mana kamu menatap layar monitor sambil berkata dalam hati:
“Udah, besok gue resign aja.”
Lalu kamu buka Google Docs, mulai nulis surat pengunduran diri.
Baru dua kalimat, kamu teringat cicilan rumah, uang sekolah anak, dan promo
gajian di Tokopedia.
Akhirnya? File-nya disimpan sebagai draft. Lagi.
Sudah ke-14 kalinya tahun ini.
Pikiran Pengen Resign, Realitas Bilang Tahan
Resign bukan soal berani atau enggak.
Kadang, kita tahu tempat kerja ini toksik, gak sehat, gak berkembang.
Tapi hidup tak bisa dibayar dengan idealisme.
Gaji mungkin tidak membuat kita bahagia,
tapi kekurangannya jelas membuat hidup lebih sulit.
Kamu tidak cinta kerjaanmu, tapi kamu cinta kestabilanmu.
Kamu ingin keluar, tapi kamu tidak yakin akan aman di luar sana.
Dan itu sangat manusiawi.
Pekerjaan Impian? Mana Ada!
Kita tumbuh dengan harapan bahwa suatu hari nanti, kita akan
bekerja di tempat yang sesuai passion, suasananya menyenangkan, dan semua rekan
kerja supportive.
Tapi setelah 5 tahun di dunia nyata, kita mulai sadar:
“Gak ada kerjaan yang benar-benar ideal. Yang ada cuma
kerjaan yang tolerable.”
Jadi kita berhitung:
- Kalau
keluar, sanggup gak 3 bulan tanpa gaji?
- Kalau
masuk ke tempat baru, pasti ada politik kantor lagi, gak?
- Kalau
bisnis sendiri, yakin gak bakal bangkrut?
Akhirnya, kita menunda resign, bukan karena nyaman,
tapi karena lebih takut miskin daripada stres.
Survival Mode: Hidup dengan Mode Bertahan
Banyak dari kita tidak lagi bekerja untuk berkembang,
tapi hanya untuk tidak jatuh.
Kita tidak mengejar mimpi, hanya memastikan tagihan tidak menumpuk.
Kita tidak lagi cari kepuasan, hanya cari kestabilan.
Dan itu membuat resign terasa seperti loncatan yang terlalu
tinggi.
Kita tidak resign, bukan karena kita bodoh,
tapi karena sistem membuat kita takut kehilangan “aman” yang semu.
Mimpi yang Dikubur Diam-diam
Di antara file Excel dan chat Teams, ada impian lama yang
dulu pernah hidup:
- Menjadi
penulis
- Punya
bisnis sendiri
- Kuliah
lagi
- Traveling
keliling dunia
Tapi semua itu kita kubur, dan kita beri nisan dalam bentuk
kalimat:
“Nanti aja deh, tunggu kondisi stabil dulu.”
Masalahnya, kapan terakhir kali kondisi benar-benar
stabil?
Selalu saja ada alasan untuk menunda, menahan, menunggu... sampai lupa cara
bermimpi.
“Resign bukan jalan keluar dari masalah,
tapi kadang itu satu-satunya cara kita menyelamatkan diri dari kehancuran yang
lebih besar.”
Di bab ini, bukan saya menyuruh kamu resign.
Saya hanya ingin kamu tahu bahwa keraguanmu itu wajar.
Dan jika suatu hari kamu memilih untuk pergi,
bukan berarti kamu menyerah—tapi kamu akhirnya memilih waras.
Komentar
Posting Komentar