Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2025

10. Merayakan Hal-Hal Kecil (Akhirnya Bisa Napas Lagi)

Mungkin kamu belum berani resign. Mungkin kamu masih stuck di pekerjaan yang kamu benci. Mungkin kamu belum punya jawaban untuk semua pertanyaan eksistensial soal karier, hidup, dan harga diri. Tapi kamu masih bertahan. Dan itu pun pantas dirayakan. Kita Tidak Perlu Sukses Besar untuk Layak Bahagia Di dunia yang memuja achievement, kita jadi terbiasa berpikir bahwa bahagia itu harus “besar” dan “terlihat”. Tapi bagaimana kalau bahagia itu sesederhana: Pulang kerja tanpa mikirin laptop Dengar lagu favorit sambil naik ojek online Punya teman kantor yang bisa diajak bercanda Mampu nolak lembur tanpa rasa bersalah Hal-hal kecil itu mungkin tidak akan masuk feed LinkedIn-mu. Tapi mereka cukup untuk membuatmu merasa: “Hari ini aku hidup. Hari ini aku cukup.” Self-worth Bukan dari Job Title Kamu bukan jabatanmu. Kamu bukan gajimu. Kamu bukan file presentasi jam 2 pagi yang dikasih label “luar biasa.” Kamu berharga karena kamu...

9. Mitos Work-Life Balance

 Work-life balance sering jadi jargon di iklan lowongan kerja: “Kami mendukung work-life balance.” “Lingkungan kerja yang sehat dan seimbang.” Tapi setelah masuk? Meeting jam 9 malam Grup kantor aktif 24/7 Cuti tapi tetap dibombardir tugas Work-life balance akhirnya jadi seperti kue ulang tahun di pantry —ada, tapi tidak semua bisa menikmati. Kenapa "Balance" Itu Sulit? Karena dunia kerja modern tidak dirancang untuk seimbang. Teknologi membuat kita selalu bisa dihubungi Budaya hustle membuat kita merasa bersalah kalau tidak sibuk Kompetisi membuat kita rela kerja lebih, demi dianggap “berdedikasi” Work-life balance gagal bukan karena kamu lemah, tapi karena sistemnya memang menuntut kamu untuk terus hadir, aktif, dan standby. Life = Reward, Work = Kewajiban? Banyak orang hidup dalam pola pikir: “Kerja dulu, hidup nanti.” “Sukses dulu, bahagia nanti.” Tapi "nanti" itu tidak pernah data...

8. Budaya Kerja yang Terlalu Sering Memuliakan Luka

Di dunia korporat, ada satu hal yang tak terlihat tapi sangat diagungkan: pengorbanan. Lembur disebut loyalitas. Lelah disebut dedikasi. Menangis di toilet disebut "tanda kamu peduli". Dan burnout? “Wajar kok, namanya juga kerja keras.” Kita hidup di budaya yang memuliakan luka kerja seolah itu medali. Semakin kamu hancur, semakin kamu dianggap hebat. Semakin Sakit, Semakin Dipuji Coba perhatikan: Orang yang masuk kerja saat sakit sering dipuji. “Keren banget, padahal demam tetap datang!” Yang kerja sampai tengah malam dianggap panutan. Yang liburan tapi masih balas email disebut totalitas. Tapi orang yang: Pulang tepat waktu Menolak lembur berlebihan Minta cuti karena burnout Justru dianggap "tidak seambisius itu", “kurang niat”, atau bahkan “banyak alasan.” Budaya ini membuat kita takut terlihat sehat. Karena sehat dianggap tidak cukup sibuk. Dan tidak cukup sibuk = tidak cukup berharga. Kerja Keras...

7. Warna-warni Burnout

Burnout bukan sekadar capek. Bukan juga cuma butuh libur. Burnout itu seperti: Kerja tapi kosong Hidup tapi mati rasa Terjaga tapi ingin tidur selamanya Dan ironisnya, itu semua terjadi saat kamu tetap hadir, tetap perform, tetap terlihat "baik-baik saja" di kantor. Burnout Tidak Selalu Dramatis Kebanyakan orang kira burnout itu seperti ledakan besar. Padahal seringnya, ia datang diam-diam, perlahan. Seperti: Bangun tidur dengan rasa hampa Susah konsentrasi, padahal tugasnya kecil Mudah marah, walau alasan sepele Nunda-nunda kerjaan, bukan karena malas... tapi karena muak Lama-lama, kamu tidak tahu lagi kenapa kamu kerja. Kamu hanya tahu: harus kerja. Titik. Saat Hobi Tak Lagi Menyenangkan Dulu, nonton film, masak, atau jalan-jalan adalah pelarian. Sekarang? Semua terasa kosong. Bahkan scrolling media sosial pun melelahkan. Kamu mulai hidup seperti zombie berpenghasilan. Ada di mana-man...

6. Resign di Kepala, Tapi Bertahan di Dompet

Setiap minggu, pasti ada momen di mana kamu menatap layar monitor sambil berkata dalam hati: “Udah, besok gue resign aja.” Lalu kamu buka Google Docs, mulai nulis surat pengunduran diri. Baru dua kalimat, kamu teringat cicilan rumah, uang sekolah anak, dan promo gajian di Tokopedia. Akhirnya? File-nya disimpan sebagai draft. Lagi. Sudah ke-14 kalinya tahun ini. Pikiran Pengen Resign, Realitas Bilang Tahan Resign bukan soal berani atau enggak. Kadang, kita tahu tempat kerja ini toksik, gak sehat, gak berkembang. Tapi hidup tak bisa dibayar dengan idealisme. Gaji mungkin tidak membuat kita bahagia, tapi kekurangannya jelas membuat hidup lebih sulit. Kamu tidak cinta kerjaanmu, tapi kamu cinta kestabilanmu. Kamu ingin keluar, tapi kamu tidak yakin akan aman di luar sana. Dan itu sangat manusiawi. Pekerjaan Impian? Mana Ada! Kita tumbuh dengan harapan bahwa suatu hari nanti, kita akan bekerja di tempat yang sesuai passion, suasananya menyenangkan, dan se...

5. Kolam Toxic Tanpa Filter

Kantor sering dipromosikan sebagai “lingkungan kerja yang sehat, suportif, dan penuh kolaborasi.” Tapi kenyataannya, banyak dari kita bekerja di tempat yang lebih mirip kolam toxic tanpa filter —airnya keruh, ikannya saling memangsa, dan siapa pun yang berenang terlalu jujur... cepat tenggelam. Racun Bernama Kompetisi Kompetisi itu sehat, katanya. Tapi kompetisi di kantor seringkali tidak sehat—karena tidak sekadar soal siapa yang kerja paling bagus, tapi siapa yang paling pandai menyikut dengan senyuman. Rekan yang awalnya ramah, mulai enggan membagi info. “Kolaborasi” berubah jadi “saling curi kredit”. Tim kerja jadi ajang diam-diam balapan promosi. Kita diajari bahwa untuk naik, harus menginjak orang lain—walau secara halus, diplomatis, dan tentu... sambil tetap bilang: “Kita semua satu tim, kok!” Atasan yang Toxic: Bos atau Tuhan Kecil? Ada dua jenis atasan: Yang membimbing dan memberi ruang berkembang Yang merasa dirinya pusat s...

4. Gaji Gagal Menyembuhkan Luka Batin

Gaji pertama selalu terasa manis. Saat notifikasi masuk— "transfer dari PT. Harapan Palsu Abadi" , dunia serasa cerah. Rasanya ingin traktir teman, belanja barang yang selama ini cuma ada di wishlist, atau sekadar duduk di kafe mahal sambil pura-pura sibuk ngetik. Tapi itu cuma sebentar. Beberapa bulan kemudian, kenyataan menampar: gaji ternyata bukan penyembuh luka batin. Ia hanya penawar rasa sakit. Seperti painkiller—menghilangkan nyeri sesaat, tapi tidak menyembuhkan akar masalah. Gaji Besar, Waktu Habis Katanya gaji besar = bahagia. Tapi jarang ada yang bilang kalau semakin besar gaji, semakin kecil waktu pribadi. Gaji tinggi sering dibayar mahal dengan: Waktu keluarga yang dikorbankan Kesehatan yang diabaikan Tidur yang cuma 4 jam HP yang tak pernah mati, bahkan di hari Minggu Semakin tinggi posisi, semakin sempit ruang untuk hidup. Seolah kamu sedang menyewa tubuhmu ke perusahaan, lengkap dengan pikirannya. “Kerja keras sek...

3. Atasan, Jabatan, dan Jebakan

Korporat seperti kerajaan kecil. Dan dalam kerajaan itu, struktur kekuasaan jelas: ada raja (CEO), ada menteri (direksi), ada kepala suku (manajer), dan sisanya... ya, kita: rakyat jelata yang kerja keras demi nama baik kerajaan. Dan seperti kerajaan pada umumnya, yang di atas selalu minta loyalitas, tapi jarang turun tangan ketika rakyatnya kelaparan... atau setidaknya kelaparan ide, energi, dan waktu tidur. Micromanaging: Cinta yang Mencekik Pernah punya atasan yang terlalu peduli? Bukan peduli secara manusiawi, tapi peduli sampai level tahu kamu ke toilet berapa menit. Atasan yang merasa dirinya adalah sistem kontrol kualitas berjalan. Semua harus lewat dia, semua harus sesuai gayanya, dan semua harus dikerjakan "seperti yang saya bayangkan, tapi tidak pernah saya jelaskan dengan jelas." Micromanaging adalah seni pengawasan yang dibungkus dengan kalimat-kalimat seperti: • “Saya hanya ingin memastikan semuanya berjalan lancar.” • “Coba revisi lagi ya, ini kurang vibe-ny...

2. Seragam Tak Kasat Mata

Di dunia korporat, kita memang tidak lagi memakai rantai di kaki atau borgol di tangan. Tapi jangan salah. Seragam kita tetap ada. Bukan dalam bentuk kain, melainkan dalam bentuk sikap, pola pikir, dan ekspresi yang dikurasi agar terlihat “profesional”. Pernahkah kamu sadar, betapa miripnya semua orang di kantor? Senyum yang sama, tawa yang sedikit ditahan, nada bicara yang penuh basa-basi. Bahkan cara duduk dan tertawa pun seolah diatur dalam buku panduan tak tertulis: “Menjadi Korporat yang Baik dan Bisa Diterima”. Kita semua pakai seragam tak kasat mata itu. Kita semua tahu kalau jadi terlalu jujur bisa bikin karier mandek. Jadi kita belajar berkata "Noted, Pak" saat ingin berkata "Ini kerjaanmu, kenapa jadi tugas saya?" Kita menulis email dengan kalimat: “Mohon bantuannya ya, Pak/Bu 🙏🏻 ” Padahal sebenarnya maksudnya: “Ini kerjaan Anda, tolong kerjakan dong, saya udah cukup pusing.” Profesionalisme adalah topeng Di kantor, kita belajar menyembuny...

1. Bangun, Mandi, Macet, Kerja, Lelah, Tidur, Ulangi

Setiap pagi, alarm berbunyi dengan semangat yang tidak saya miliki. Bunyi “tiiit-tiiit-tiiit” seolah berkata,  “Ayo bangun, kamu harus jadi produktif demi perusahaan yang tak tahu kamu lembur tadi malam.” Saya terbangun, setengah sadar, memandangi langit-langit kamar dengan pertanyaan eksistensial,  “Kenapa hidup begini amat ya?”  Tapi karena cicilan masih panjang dan saldo tabungan belum bisa membuat saya bertahan tanpa gaji, saya bangun juga. Jam 6 pagi.  Di jalan raya, saya bukan siapa-siapa. Hanya satu titik di lautan kendaraan yang masing-masing mengejar waktu dan menekan klakson seperti sedang balapan hidup. Macet bukan lagi musuh—dia sudah seperti teman yang selalu ada. Kadang saya berpikir, bisa jadi lebih banyak waktu saya habiskan di mobil daripada di rumah. Ironis. Sampai kantor, saya berpura-pura sibuk bahkan sebelum benar-benar sibuk. Laptop dibuka, kopi sachet diseduh, dan kalender Outlook dibaca seperti kitab suci. Ada rapat jam 9, update KPI jam 11, d...